Merasa di Rugikan, 7 Kepala Daerah Gugat UU Pilkada Terkait Pemotongan Masa Jabatan

Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. Sumber Foto : Kompas.

TARAKAN – Walikota Tarakan dr. Khairul M.Kes menggugat UU Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemotongan masa jabatan kepala daerah.

Hal itu dilakukan dr. Khairul bersama 6 kepala daerah lainnya, yakni Bima Arya (Walikota Bogor), Dedie A Rachim (Wakil Walikota Bogor), Marten A Taha (Walikota Gorontalo), Hendri Septa (Walikota Padang), Murad Ismail (Gubernur Maluku) dan Emil Elestianto Dardak (Wakil Gubernur Jawa Timur).

Ke 7 kepala daerah tersebut mempersoalkan Pasal 201 Ayat (5) UU Pilkada yang mengatur, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023”.

Gugatan tersebut diketahui berdasarkan adanya informasi di situs resmi MK pada Rabu 29 November 2023 pagi.

Meski terpilih pada tahun 2018, para kepala daerah ini baru dilantik pada tahun 2019. Mereka beranggapan dengan berlakunya Pasal 201 Ayat (5) UU Pilkada, maka masa jabatan Murad Ismail terpotong sekitar 4 bulan, Emil Elestianto Dardak akan kehilangan masa jabatan 2 bulan, Bima Arya dan Dedie A Rachim akan kehilangan masa jabatan sekitar 4 bulan, Marten A Taha terpotong masa jabatannya hingga 6 bulan, Hendri Septa terpotong 5 bulan dan dr. Khairul, M.Kes sendiri akan terpotong masa jabatannya sekitar 3 bulan.

Para kepala daerah melalui kuasa hukumnya meminta MK agar mempercepat penanganan perkara ini untuk menghindari kerugian yang lebih besar jika diberhentikan oleh pemerintah, dan meminta MK tidak menunjuk serta melantik pejabat baru. Hal itu untuk menghindari adanya tumpang tindih hukum apabila MK mengabulkan permohonan.

Donal Fariz, Kuasa Hukum pemohon menjelaskan saat membacakan permohonan di MK saat sidang perdana yang dipimpin Suhartoyo Ketua MK, terungkap Pasal 201 Ayat (5) UU Pilkada telah melanggar hak para pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum. Pasal 162 Ayat (1) dan (2) UU Pilkada mengatur bahwa kepala daerah memegang jabatan selama lima tahun. Namun, pasal yang diuji tersebut telah mengakibatkan pengaturan masa jabatan selama lima tahun tidak dapat diwujudkan.

Selain diatur oleh UU Pilkada, masa jabatan lima tahun juga dicantumkan dalam Keputusan Presiden (Kepres) tentang pengangkatan tujuh kepala daerah tersebut.

Ketua MK Suhartoyo mengatakan, MK meminta para pemohon memberikan narasi kepada MK terutama apabila permohonan yang diajukan diakomodasi, sebab ada permohonan serupa yang sebelumnya sudah ditolak oleh MK.

Suhartoyo menambahkan, sebelum maju dalam Pilkada tahun 2018 seharusnya para kepala daerah telah mengetahui adanya Pasal 201 Ayat (5) UU Pilkada yang mengatur bahwa masa jabatan mereka akan selesai pada 2023. Oleh karena itu, MK meminta diberi data sebenarnya, pemimpin daerah lain yang mengalami nasib yang sama, selain para pemohon yang ada saat ini.

Sementara itu Saldi Isra, Wakil Ketua MK mengharapkan, para pemohon memperjelas perbedaan permohonan yang diajukan dengan perkara serupa yang telah diputus oleh MK sebelumnya, juga membuat table perbandingan alasan permohonan dan batu uji yang digunakan dengan perkara-perkara sebelumnya.

Pemohon juga diminta untuk menguraikan tahapan pemungutan suara (Pilkada), misalnya kapan akan dimulai, hingga pengambilan sumpah dikaitkan dengan petitum yang dimohonkan. Kuasa hukum pemohon juga diminta menambahkan keterangan siapa saja dari tujuh kepala daerah yang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 205 Ayat (1) UU Pilkada yang akan mengikuti kontestasi dalam Pilkada 2024. (Joe)