SMSI akan Ajukan Judicial Review Perpres 32/2024 tentang Publisher Rights

Firdaus, Ketua Umum SMSI.

KALTARAONE.COM – Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) berencana mengajukan judicial review (uji materiil) terhadap Peraturan Presiden (Perpres) tentang “Publisher Rights” ke Mahkamah Konstitusi.

Hal itu terungkap dari rapat virtual SMSI yang digelar pada Senin (26/2/2024), dipimpin Ketua Umum, Firdaus, dan diikuti oleh para ketua SMSI tingkat provinsi dari Sabang sampai Merauke, juga dewan pakar SMSI, Prof. Dr. Henry Subiakto, Guru Besar Fisip Universitas Airlangga Surabaya.

Firdaus dalam rapat via aplikasi Zoom tersebut menyatakan JR (judicial review) adalah langkah terakhir yang bisa digunakan, setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres Nomor 32 Tahun 2024 tentang Publisher Rights pada 21 Februari 2024.

Perpres yang mengatur tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas itu dipandang membatasi Kemerdekaan Pers dan peluang usaha bagi media massa kecil, khususnya media online yang belum terverifikasi oleh Dewan Pers.

“Dengan Perpres itu maka Platform Digital dibatasi hanya menerima konten dari media yang sudah terverifikasi Dewan Pers, sementara ribuan media online termasuk 2.000an anggota SMSI banyak sekali yang belum terverifikasi,” kata Firdaus.

Karena itu, kata dia, Perpres Publisher Rights berpotensi merugikan dan bahkan mematikan usaha media online yang umumnya merupakan “start up”.

Dalam rapat, sejumlah pembicara dari daerah mengusulkan agar SMSI meminta aturan Dewan Pers yang menetapkan status Wartawan Utama untuk posisi Penanggung Jawab dan Pemimpin Redaksi diturunkan menjadi Wartawan Madya. Selebihnya, semua peserta rapat sepakat menolak Perpres Nomor 32 Tahun 2024.

Sementara itu, Prof. Henry Subiakto saat diminta pendapatnya menyatakan Perpres Publisher Rights di satu sisi memiliki tujuan positif menciptakan karya jurnalistik berkualitas, namun di sisi lain bisa mematikan usaha media kecil (online) yang belum terverifikasi Dewan Pers.

“Jumlah media online di Indonesia sekitar 40.000an, sedangkan yang sudah terverifikasi tidak sampai 10 persen,” katanya.

Mantan Staf Ahli Menkominfo bidang Komunikasi dan Media Massa itu menyebut keinginan mengajukan JR terhadap Perpres Publisher Rights sebagai sesuatu yang menarik, namun penggugat sebaiknya memiliki legal standing sebagai pihak yang terdampak langsung (secara langsung dirugikan oleh Perpres tersebut).

Ia juga menyatakan Perpres itu tidak mudah dilaksanakan karena belum tentu disetujui oleh Perusahaan Platform Digital Global.

“Di Kanada dan Australia (ketentuan itu) tidak berjalan,” katanya.

Terkait peraturan dalam Perpres Publisher Rights, Prof. Henry menyoroti ketentuan pasal 5 yang tidak mencantumkan sanksi bila tidak dilaksanakan, dan pasal 6 yang mensyaratkan Perusahaan Pers harus terverifikasi Dewan Pers. (*)