KALTARAONE.COM, SURABAYA – KH Ridwan Abdullah merupakan sosok kiai yang menciptakan lambang Nahdlatul Ulama (NU). Ia menciptakan lambang organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, itu berdasarkan perintah dari muassis NU Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari.
Kepada Kiai Ridwan, Mbah Hasyim berpesan agar lambang tersebut dibuat secara orisinil, tidak boleh meniru bendera atau simbol manapun. Selain itu, lambang tersebut hendaknya menunjukkan haibah dan kemegahan NU sebagai organisasi besar.
Kiai Ridwan pun mulai merancang dan membuat lambang NU yang didirikan pada tahun 1926 M itu. Namun, berulangkali ia membuatnya, tak satu pun yang dirasa cocok oleh dirinya sesuai dengan yang dipesankan oleh Mbah Hasyim meski telah banyak sketsa yang coba dibuatnya. Ia pun mencoba membuatnya lebih serius, bahkan Kiai Ridwan meminta agar tidak seorangpun dari keluarganya yang masuk ke kamarnya, apalagi memindahkan ratusan sketsa yang dibuatnya.
Dari ratusan sketsa, beberapa bulan tidak menghasilkan lambang yang diinginkan Mbah Hasyim. Bahkan, hingga kurang satu bulan menjelang pelaksanaan Muktamar ke-2 tahun 1927 di Surabaya, lambang itu tak kunjung selesai.
Karena pembuatan lambang NU tersebut selalu ditagih dan diminta oleh sejumlah kiai, akhirnya Kiai Ridwan bermunajat kepada Allah SWT melalui istikharah. Adapun hasil istikharahnya, ia mendapat isyarat di langit terlihat lambang jagat yang dikelilingi bintang berjumlah sembilan.
Lambang yang dilihat dimimpinya tersebut langsung dilukis. Alhasil, KH Abdul Wahab Chasbullah tercengang melihat keindahannya. Pada saat itu pula, hasil rancangan tersebut disampaikan kepada Mbah Hasyim di Tebuireng, Jombang. Saat melihat lambang itu, Mbah Hasyim sempat tak percaya hingga akhirnya Kiai Ridwan menjelaskannya bahwa lambang tersebut merupakan hasil istikharah.
Mbah Hasyim pun mengiyakan lambang tersebut. Namun, ia meminta Kiai Ridwan untuk mentashih lagi kepada Kiai Nawawi Sidogiri, Pasuruan. Saat itu juga, Mbah Wahab memimpin rombongan berangkat ke Sidogiri.
Rupanya kedatangannya itu diketahui oleh Kiai Nawawi. Berhubung lambang itu sudah disetujui oleh Rais Akbar NU kala itu, Kiai Nawawi pun tidak berani mengubahnya. Karena hasil istikharah tersebut menjadi petanda bahwa NU akan menjadi organisasi besar dan mempersatukan umat.
Kemudian, Kiai Nawawi menyitir potongan dalam Al-Qur’an “Wa’tashimu bihablillahi jamian wala tafarraqu.” Ia berpesan, ayat tersebut hendaknya diwujudkan dalam lambang.
Pesan Kiai Nawawi itu disampaikan kepada Kiai Ridwan. Ia pun bersepakat bahwa potongan ayat tersebut tidak akan ditulis secara harfiah, tetapi dilambangkan dalam bentuk tali Allah yang mengikat bola dunia.
Saat melihat ikatan tersebut kuat (simpul mati), Mbah Wahab merasa tidak cocok. Sehingga ia mengusulkan agar ikatan tali tersebut tidak terlalu ketat (sedikit dilonggarkan). Alasannya, karena ulama sebagai pengendali organisasi keagamaan harus luwes dan lentur dalam mengikuti perkembangan masyarakat dan perubahan zaman.
Lukisan semakin estetik ketika Kiai Ridwan menambahkan khat Arab yang melintang di bola dunia dan bintang sembilan. Tulisan khat tersebut adalah Nahdlatul Ulama. Hanya saja, dalam khat itu ditulis huruf ‘Ain besar (terbuka). Sementara dalam aturan khat, menyalahi aturan dan semestinya huruf ‘Ain tersebut ditulis Ain kecil (tertutup). Dari penyimpangan ini menunjukkan sebuah keaslian, keindahan, dan kemegahan.
Warna hijau dijadikan dasar bendera yang merupakan warna kesukaan Nabi. Tetapi saat mencari kain beludru tak kunjung ditemukan di pertokoan Surabaya. Akhirnya ditemukan kain tersebut ditemukan di Malang, tepatnya di toko India dan hanya tersisa satu meter. Akhirnya si pedagang memberikannya sebagai hadiah. Dan, di atas kain tersebut rancangan lambang NU disepakati dibordir.
Makna Lambang NU
Lambang NU diperkenalkan pada Muktamar ke-2, tepatnya dihadapan Muktamirin dan pemerintah Hindia Belanda. Sebelum lambang dibuka yang ditutupi kain, Mbah Hasyim memanggil Kiai Ridwan untuk menjelaskan makna dari simbol itu. Kala itu, Kiai Ridwan didaulat sebagai panitia bagian konsumsi yang bertugas di dapur.
Secara faktual, Kiai Ridwan hanya ditugasi menggambar, tidak diminta untuk menjelaskan maknanya. Agar tampak rapi, Kiai Ridwan yang berpakaian kaos oblong, dipinjami jas dan surban maju ke atas panggung guna menjelaskan makna lambang tersebut.
Saat di panggung, terjadi keajaiban pada diri Kiai Ridwan. Seolah ada kekuatan lain yang merasuk dalam tubuhnya sehingga lisannya berbicara satu jam menjelaskan arti satu persatu makna lambang NU tersebut dengan jelas.
Kiai Ridwan menjelaskan, ada 5 bintang berada di atas dengan 1 yang paling besar adalah Nabi Muhammad SAW, yang 4 adalah sahabatnya. Di bawah tulisan terdapat 4 bintang yang melambangkan 4 mazhab. Kalau dijumlah semuanya 9 bintang yang melambangkan wali songo.
Tali yang melingkari bola dunia menandakan perlunya persatuan di jalan Allah. Tulisan khat yang melintang di jagat itu ditulis ‘Ain terbuka menunjukkan bahwa ilmu itu selalu terbuka dan ulama harus terbuka terhadap kebenaran dan terus belajar, sajak dari ayunan (bayi) hingga kuburan (wafat), dari Arab ke negeri Cina, agar pikirannya relevan sehingga bisa mendampingi umat.
Ketika kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pindah ke Jakarta, di tahun 1954 bendera tersebut diantarkan sendiri oleh Kiai Ridwan sebagai bendera pusaka. Di masa kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, bendera tersebut masih tersimpan dalam lemari PBNU. Namun sejak renovasi kantor pada tahun 2000, beberapa inventaris NU, buku, kitab, arsip dan bendera hilang tanpa bekas. Pencarian dilakukan, tetapi Sang Saka jagat belum ditemukan. (Diriwayatkan oleh KH Shalahuddin Azmi dari KH Mudjib Ridwan). Sumber : NU Online Jatim