KALTARAONE.COM, JAKARTA -Ditengah panasnya polemik Permenaker No.2 Tahun 2022 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT), Ida Fauziyah Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) kembali membuat pernyataan pers. Dia menegaskan bahwa Permenaker ini dibuat berdasarkan rekomendasi dari pihak yang berkepentingan.
(Kutipan Screenshot :Lapsing RDP dan RDPU Komisi IX DPR RI 28 September 2021)
Menaker menerangkan, tahun lalu Komisi IX DPR RI mengadakan Rapat dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diadakan Komisi IX DPR RI pada 28 September 2021 yang dihadiri perwakilan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan, Direksi BPJS Ketenagakerjaan, serta dua perwakilan Serikat Pekerja/Buruh, yakni Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).
“Hasil rapat memutuskan untuk mendorong pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang mengembalikan Program Jaminan Hari Tua (JHT) sesuai dengan fungsinya sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional,” ucap Ida Fauziyah dalam keterangan tertulis, Kamis (17/2/2022).
Menaker Ida mengklaim, dalam RDPU ini semua pihak sepakat merekomendasikan Kemnaker untuk meningkatkan manfaat Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi pekerja informal. Termasuk menyelaraskan aturan jaminan sosial, terutama regulasi mengenai klaim manfaat JHT dan Program Jaminan Pensiun (JP).
Menaker juga mengklaim peraturan tentang pembayaran manfaat JHT merupakan hasil pokok-pokok pikiran Badan Pekerja Lembaga Tripartit Nasional pada 18 November 2021 dalam forum pembahasan perubahan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT.
Intinya, manfaat kepesertaan program JHT tujuannya untuk memberikan perlindungan pekerja pada hari tua, saat memasuki masa pensiun, atau meninggal dunia dan mengalami cacat total tetap. Namun menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 jo PP No. 46 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan program JHT dalam jangka waktu tertentu peserta program yang membutuhkan dapat mengajukan klaim sebagian manfaat JHT.
“Berdasarkan PP 46/2015, klaim terhadap sebagian manfaat JHT tersebut dapat dilakukan apabila peserta telah mempunyai masa kepesertaan paling sedikit 10 tahun dalam program JHT. Dan peserta program dapat mengambil maksimal 30 persen dari manfaat JHT untuk pemilikan rumah atau maksimal 10 persen dari manfaat JHT untuk keperluan lainnya dalam rangka persiapan masa pensiun,” jelasnya.
Bantah Pernyataan:
Merespon pernyataan Menaker, Dedi Hardianto Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) membantah. Dia mengklarifikasi, bahwa memang benar pada 28 September 2021, KSBSI ikut hadir agenda RDPU di Gedung Parlemen Senayan.
“Waktu itu saya bersama Ibu Elly Rosita Silaban Presiden KSBSI yang hadir mewakili organisasi untuk ikut RDPU nya,” ucap Dedi, saat diwawancarai Di Cipinang Muara, Jakarta Timur, Jumat (18/2/2022).
Namun, selama pembahasan rapat, Dedi menegaskan tidak ada pembahasan wacana dan rekomendasi Permenaker No.2 Tahun 2022 Tentang JHT.
“Tapi yang dibahas adalah bagaimana mendorong pemerintah agar meningkatkan pelayanan program JHT agar lebih baik kedepannya dan memang ada membahas Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
“Perlu saya pertegas, KSBSI tidak pernah merekomendasikan Permenaker No.2 Tahun 2022 Tentang JHT, seperti yang diucapkan Menaker, karena masalah ini juga nggak dibahas selama rapat,” tandasnya.
Ia menambahkan KSBSI masih menyimpan dokumen hasil RDPU tersebut, dimana, kesimpulan rapat hanya merekomendasikan:
1. Komisi IX DPR RI mendesak Kementerian Ketenagakerjaan Untuk melakukan evaluasi dan review regulasi terkait besaran manfaat Jaminan Pensiun yang hanya Rp. 300.000 sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup.
2. Komisi IX DPR RI mendesak Kementerian Ketenagakerjaan RI untuk meningkatkan manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi pekerja informal serta mengharmonisasikan regulasi jaminan sosial terutama regulasi antara klaim program JHT dan Program Jaminan Pensiun.
3. Komisi IX DPR RI mendesak Kementerian Ketenagakerjaan bersama BPJS Ketenagakerjaan untuk membangun tata kelola sehingga seluruh manfaat jaminan sosial dan bantuan sosial lebih tepat sasaran.
4. Sehubungan dengan sisa anggaran BSU tahun 2021 sebesar Rp.1,791 Triliun, Komisi IX DPR RI mendesak Kementerian Ketenagakerjaan RI untuk memanfaatkan sisa anggaran tersebut dengan memperluas kepesertaan dan cakupan wilayah penerima bantuan secara nasional.
5. Komisi IX DPR RI mendesak Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) lebih aktif melakukan pengawasan integrasi data jaminan sosial mulai validasi data hingga verifikasi data calon peneriman bantuan subsidi upah (BSU).
6. Komisi IX DPR RI mendesak BPJS Ketenagakerjaan mengembangkan aplikasi BPJS Ketenagakerjaan dengan memperkaya pilihan aksebilitas baik dalam kepesertaan maupun klaim program.
Dia menjelaskan semangat dan filosofi Permenaker No.2 Tahun 2022 Tentang JHT itu sudah baik. Tapi yang membuat Permenaker ini menjadi masalah besar adalah peraturannya dibuat tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah atau PP No.60 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program JHT.
Dimana, dalam Permenaker tersebut tidak membuat aturan tegas soal buruh terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan mengundurkan diri.
“KSBSI tetap mendesak Menaker agar Permenaker No.2 Tahun 2022 Tentang JHT dicabut dan meminta segera direvisi. Terutama dalam pasal masalah pengambilan dana JHT bagi buruh yang ter-PHK dan pensiun tidak dipersulit lagi menjadi usia 56 tahun,” tandasnya. (Andreas/Hugeng)
Sumber : KSBSI.ORG