Ketua Satupena Kalbar: Perwakilan Santri ‘Serbu’ Kantor Trans7, Minta Maaf Berkumandang

Foto ilustrasi AI. Rosadi Jamani

JAKARTA – Rosadi Jamani ketua Satupena Kalimantan Barat turut menanggapi derajat pesantren yang direndahkan oleh program televisi Xpose Trans7.

Dosen Universitas Nadhlatul Ulama (UNU) Kalbar itu secara halus ‘menelanjangi’ Trans7, yang miskin adab. Melalui akun resmi Tiktok Rosadi Jamani (@bangros20) ia menuliskan kekecewaannya terhadap Trans7. “Pesantren, kiyai, dan santri itu sudah ada jauh sebelum Indonesia lahir,” tulisnya.

Tulisan dengan judul Perwakilan Santri ‘Serbu’ Kantor Trans7, Minta Maaf Berkumandang. Simak selengkapnya.

“Pesantren, kiyai, dan santri itu sudah ada jauh sebelum Indonesia lahir. Lembaga pendidikan inilah yang mencerdaskan kaum pribumi ketika itu. Ketika Belanda menerima siswa hanya untuk anak bangsawan di sekolah yang didirikannya. Saat derajat pesantren direndahkan oleh Xpose Trans7, para kiyai dan santri pun mendatangi kantornya. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Jakarta Selatan, 14 Oktober 2025. Hari itu, halaman kantor Trans7 tiba-tiba berubah jadi lautan sarung dan kopiah. Puluhan santri dan alumni Pondok Pesantren Lirboyo dari wilayah Jabodetabek mendatangi stasiun televisi tersebut. Mereka tergabung dalam Himpunan Alumni Santri Lirboyo (Himasal). Tapi jangan salah, ini bukan “serbuan” dalam arti amarah jalanan, ini serbuan akhlak, serangan beradab terhadap kebodohan yang disiarkan secara nasional.

Semuanya bermula sehari sebelumnya, pada 13 Oktober 2025, ketika program Xpose Uncensored Trans7 menayangkan kalimat yang membuat darah santri mendidih, “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan pondok?”

Sekilas tampak sepele, tapi di mata pesantren, itu bukan lelucon, itu penghinaan. Sebab di dunia pesantren, adab adalah napas ilmu. Minum sambil jongkok bukan karena kolot, tapi karena tawadhu’, rendah hati di hadapan rezeki. Tapi kamera televisi yang haus sensasi hanya tahu sudut pandang satir, bukan makna spiritual. Maka jadilah adab dijadikan bahan tawa.

Rasyud Syakir, penasihat Himasal Jabodetabek, berdiri mewakili para santri dalam audiensi dengan direksi Trans7. Ucapannya tenang, tapi tajam, “Kami mendatangi Trans7 dalam rangka mengklarifikasi berita yang tidak mengenakkan, bahkan membuat kegaduhan. Kami ingin menyampaikan bahwa kehidupan pesantren bukanlah seperti yang ditampilkan dalam tayangan tersebut. Ada nilai, adab, dan tradisi yang dijaga.”

Kata “adab” itu menembus dinding kaca ruang meeting. Sebab di dunia pesantren, adab bukan teori, ia laku hidup. Direksi Trans7, termasuk Program Director Andi Chairil, menunduk dan menyampaikan permohonan maaf secara langsung. Mereka mengakui adanya kelalaian dan berjanji akan melakukan evaluasi internal. Tapi publik belum puas. Karena permintaan maaf tanpa tanggung jawab adalah janji tanpa wudhu, kering dan tidak suci.

Tagar #BoikotTrans7 pun bergema di media sosial, naik ke puncak trending. Para tokoh NU ikut bersuara. Gus Nadir bahkan mendesak Chairul Tanjung, pemilik Trans7 sekaligus bos besar CT Corp, agar memberi sanksi tegas kepada tim Xpose Uncensored. Namun hingga kini, Chairul belum mengeluarkan pernyataan langsung. Barangkali sedang menimbang, mana yang lebih penting, rating atau rasa hormat.

MUI dan PBNU menilai tayangan itu telah melecehkan nilai-nilai pendidikan Islam dan melanggar etika jurnalistik. Tayangan tersebut tidak hanya menyindir, tapi juga memelintir realitas. Potongan gambar yang menggambarkan pesantren sebagai tempat kolot dan mistik memperkuat stigma lama yang sudah seharusnya dikubur. Bahkan praktik ngalap berkah kepada kiai, tradisi spiritual penuh makna, disajikan dengan nada sinis seolah itu fanatisme buta.

Namun yang datang ke kantor Trans7 bukanlah massa pemarah. Mereka datang dengan wajah teduh, membawa hormat, bukan amarah. Mereka tidak melempar batu, tapi melempar pelajaran. Karena di pesantren, santri diajarkan, siapa pun yang berbuat salah tetap harus diajak bicara dengan adab.

Kini Trans7 sudah meminta maaf, tapi luka pesantren belum sembuh. Sebab yang dilukai bukan satu lembaga, tapi seluruh warisan moral Nusantara. Pesantren bukan tempat orang kolot, ia benteng terakhir peradaban sopan santun di tengah bangsa yang semakin cerewet tapi kehilangan rasa malu.

Hari itu, ketika perwakilan santri “menyerbu” Trans7, mereka sejatinya tidak sedang marah. Mereka hanya ingin mengingatkan, di negeri yang terlalu sibuk menertawakan adab, para santri masih setia menjaga kesopanan agar tidak punah di layar kaca”. (*)

Sumber: Tiktok (@bangros20)