DIRGAHAYU TNI KE 80: Kisah Edy Subakti, Prajurit TNI Bertugas di Krayan, Pedalaman Kaltara

Di depan rumah dinas prajurit tahun 1989, bersama Bapak, Ibu dan teman-teman yang sekarang entah dimana.

Penulis Joko Supriyadi, ST

BULUNGAN – Bapak saya seorang pensiunan Tentara. Beliau wafat minggu, 15 Januari 2023 yang lalu. Di hari ulang tahun TNI ini, saya persembahkan lagi salah satu tulisan singkat untuk mengenang kisahnya kala tugas di Krayan pada awal 90an.

Tahun 1989 silam, Bapak, Edy Subakti ditugaskan di Koramil Long Bawan, Kecamatan Krayan (dulu masih KALTIM). Lokasinya berada di pegunungan, di pedalaman Kalimantan, berbatasan dengan Serawak Malaysia. Waktu itu kalau mau ke Krayan musti naik pesawat kecil dengan baling-baling. Saya lupa nama pesawatnya, kalau tidak salah pesawat MAP. Selama di Krayan, banyak hal berkesan yang saya ingat. Udaranya dingin sekali. Tiap malam kami berkumpul di dapur, membakar kayu biar hangat.

Masyarakat lokalnya mayoritas Dayak. Kami biasa berbaur dengan mereka dalam berbagai acara masyarakat. Ketika masak-masak, biasanya dapurnya dipisah, ada dapur muslim dan ada dapur non muslim. Suasana gotong royong dan toleransi amat kental.

Makanan khas masyarakat lokal adalah uba’ laya’. Semacam lontong, tapi berasnya dan cara masaknya berbeda. Sangat nikmat kalau dimakan bersama kangkung tumis dan ikan asin bakar.

Suasana alamnya sangat indah, sebab Krayan berada di pegunungan. Kami sering mandi ramai-ramai di sungai kecil yang tidak jauh dari Long Bawan. Airnya jernih, sejuk, dan sekelilingnya banyak pepohonan dan bebatuan.

Bapak sering mengajak saya mencari kayu bakar di hutan. Kami berjalan di atas batang-batang pohon yang rebah, menangkap capung hutan yang menari-nari di permukaan genangan air, ramai siulan burung-burung hutan, dikejar Tawon, digigit nyamuk.

Apalagi kalau Bapak ditugaskan ke desa-desa di tengah rimba raya Krayan. Biasanya saya, kakak dan ibu, semua ikut masuk hutan. Jalan kaki, mendaki bebukitan yang indah. Menyeberangi sungai kecil yang jernih dan berbatu-batu. Meniti jembatan gantung di atas sungai ber-arus deras.

Kalau capek, digendong bapak pakai Anjat (tas tradisional yang bisa digunakan untuk gendong anak). Kalau mau buang air besar, tinggal turun ke pinggir sungai. Saya tidak ingat apakah kami bermalam atau tidak di hutan. Seingat saya, setelah sampai di desa, biasanya masyarakat Dayak menyambut kami di rumah besar (lamin). Bapak diangkat anak oleh Ketua Adat. Lalu kami diajak keliling desa, jalan di sawah-sawah.

Hal yang paling saya ingat adalah ketika diajak ke sumur asin. Sumur itu isinya air asin. Masyarakat membuat garam dari situ. Bayangkan, di atas pegunungan pun Tuhan tetap tidak ingin makhluknya merasakan kehambaran.

Biasanya di desa hanya beberapa hari, lalu kembali ke Koramil di Long Bawan. Di rumah dinas Koramil, yang terbuat dari kayu, Bapak pelihara ber-aneka burung. Dia juga berkebun sayur di belakang rumah. Pernah juga dia piara payau. Kebutuhan makan kami terutama dari hasil kebun dan payau itulah. Dan hiburan kami suara-suara burung yang dipelihara bapak.

Hiburan lainnya adalah nonton video bareng di rumah Cina. Kita musti bayar. Berapa rupiah saya lupa. Tapi film yang saya ingat adalah film kungfu cing lung. Biasanya ramai anak-anak nonton di situ.

Selain hiburan nonton bareng, bersama teman-teman kami menangkap ikan dan cebong di parit-parit, mengejar belalang di jalan-jalan yang belum beraspal, minum air kantung semar di hutan dekat bandara sambil nunggu pesawat. Kalau pesawat datang, kami berlarian ke arah pesawat, merasakan hantaman angin kencang dari putaran baling-balingnya.

Itu pengalaman yang asyik dan mendebarkan. Ada juga pengalaman yang mendebarkan tapi tidak asyik. Yaitu ketika terjadi keributan diakibatkan oleh beberapa penjahat lolos dari tahanan. Waktu itu hari sudah malam. Anak-anak dan ibu-ibu di koramil segera diungsikan di sebuah rumah. Suara teriakan dan tembakan berganti-gantian di luar rumah. Di dalam, suasana mencekam. Rasanya seperti perang.

Tapi esoknya keadaan tenang kembali. Para penjahat nampaknya berhasil diamankan.Kehidupan kembali normal. Waktu itu belum sekolah. Tapi sering ke sekolah-sekolah, menemani Ibu mengantar jualan. Iya, ibu bikin kue donat lalu dijual ke sekolah-sekolah untuk menambah pemasukan. Kalau ada yang tidak laku, kami makan sendiri.

Kakak saya yang perempuan juga pernah jualan di sekolahnya diam-diam. Waktu itu dia kelas 4 SD. Dia bangun subuh sebelum ibu saya bangun. Lalu dia menggoreng mie. Kemudian mie itu dibungkusnya kecil-kecil. Baru dia jual ke teman-temannya di sekolah. Prosesnya pasti sangat cepat, sehingga ibu saya tidak tahu.

Nahasnya, saya sering curi sisa jualan kakak dari tasnya yang biasa digantung di belakang pintu. Gara-gara itu, akhirnya ibu tahu dia jualan. Dia ketahuan. Dia kena marah habis-habisan. Ibu sangat marah kalau anak-anaknya masih kecil sudah jualan. Ibu mau anak-anaknya fokus belajar. Sejak itu, kakak tidak pernah lagi jualan. Dia fokus belajar.

Kakak perempuan saya memang akhirnya juara kelas terus. Bahkan sampai SMP, SMA, Kuliah. Dia selalu berprestasi. Lulus Unmul, dia diterima di Kementrian Kehutanan. Sekitar 10 tahun berkantor di Jakarta, dia pulang dan berbakti di Provinsi Kalimantan Utara.

Di Krayan, karena sering bergaul dengan teman-teman dayak, dia banyak hapal lagu-lagu gereja. Tapi dia juga mengaji di mesjid dan bahkan pernah menang musabaqoh di sana. Jadi kehidupan yang heterogen tidak mengganggu keimanannya.

Krayan adalah daerah perbatasan Indonesia-Malaysia. Pernah ada kunjungan tentara malaysia ke koramil. Mereka sebagian tidur di rumah kami. Mereka bawa banyak sekali makanan kaleng, baik berisi ikan maupun daging. Saya senang sekali memakannya. Tentara malaysia itu menawarkan kepada bapak untuk berkunjung ke perbatasan, nanti mereka sediakan banyak lagi makanan kaleng di sana.

Dengan senang hati bapak menerima undangan itu. Ketika ia ditugaskan ke perbatasan Malaysia, bapak pergi membawa tas ransel besar untuk menampung makanan kaleng. Bahkan ibu ikut dengan membawa ransel tambahan. Mereka tidak perduli dengan kerasnya medan, perjalanan menuju perbatasan yang berlika-liku, mendaki gunung, menyusuri lembah, menerobos hutan.

Ketika paman saya meninggal di Tarakan pada 1990, Ibu pulang ke Tarakan bersama Kakak. Saya tinggal di Krayan bersama Bapak. Saya rewel, menangis terus sebab rindu Ibu. Bapak mungkin bingung, karena dia harus bekerja, dinas masuk keluar desa. Akhirnya saya dititip kepada seseorang yang mau berangkat ke Tarakan via pesawat kecil. Tidak ada jalan darat. Waktu itu kalau berat badan di bawah 25 kilogram, gratis.

Bayangkan, umur 5 tahun, saya naik pesawat kecil, sendirian bersama orang yang saya tidak kenal, terbang dari krayan ke Tarakan. Untung saja sampai dengan selamat di Tarakan, diantar langsung ke rumah acil saya di depan Apotik Sudirman.

Begitu bertemu, Ibu kaget dan langsung marah. Bisa-bisanya anak kecil dititip. Tapi dia mau marah sama siapa, dulu tidak bisa nelpon ke Krayan. Bahkan orang yang mengantar tadi pun tidak sempat ditanya lagi, karena keburu pergi. Mungkin dia takut juga ikut kena damprat.

Sejak itu, kami tidak pernah lagi ke Krayan. Bahkan ibu saya tidak pernah lagi ikut Bapak saya tugas ke daerah-daerah lain, sebab takut mengganggu sekolah anak-anaknya. Kami menetap di Asrama Kodim tanjung selor sampai bapak pensiun 2012 lalu.

Selamat ulang tahun ke-80 TNI! Teruslah menjadi garda terdepan penjaga kedaulatan, pelindung rakyat, dan kebanggaan bangsa Indonesia. Demikian kisah semasa di Krayan. Saya ingin sekali suatu saat bisa kembali ke sana, menikmati nostalgia. (R)