Catatan Ir. Vickner Sinaga, M.M
KALTARAONE.COM – Perjumpaan, satu kata yang hampir setiap hari dilakoni. Saking seringnya, awam terlewat. Kadang baru tersadar, paska jeda waktu. Untung sempat jumpa, ternyata itu perjumpaan kami terakhir, seorang sahabat berucap terbata.
Ada pula judul lagu “Berjumpa untuk Berpisah”. Pun kalimat puitis melankonis, “Bukan perpisahan yang kutangisi, Tapi pertemuan yang kusesali”.
Diantara ragam perjumpaan, kucatat dua yang heroik. Satunya melibatkan kita semua. Meski bukan kita pelaku utamanya, Prank? bukan, ini betul. Kita terlahir, karena ada satu juara dari jutaan benih sang ayah, berjumpa dengan indung telur di rahim si ibu. Nah, betul bukan?.
Kisah heroik kedua, ada di buku “Ganti Hati”nya Dahlan Iskan. Kusebut seru dan tingkat kesabarannya wahid karena enam bulan menunggu. Nun jauh di negeri orang, hingga momen perjumpaan itu nyata. Rongga hati yang mengecil itu di isi dengan hati baru.
Berbeda usia 40 tahun, Amazing. Beda etnis. Satu organ tubuh itu produk dalam negeri, satunya Made in China. Heroiknya dimana? butuh waktu lima tahun masa perdamaian.
Sebutir tablet sehari, agar hati cangkokan itu bisa bekerja sama dengan raga, kediaman barunya. Tidak boleh lupa mengkonsumsinya. Jika lupa? bahaya, auto immun berpotensi muncul. Kini, dengan hati baru itu, sang jurnalis senior Dahlan Iskan, semakin produktif.
Melengkapi tulisan di Hari Listrik Nasional ini, saya ikutan sharing tentang perjumpaan yang unik. Perjumpaan yang tak sengaja, tanpa rancangan. Uniknya ini kelanjutan perjumpaan monumental yang dulu terencana, by design. Kita simak berikut ini:
Selasa pagi, dari Bandara Soetta Cengkareng, kami terbang, direct flight ke Tarakan. Mendarat di Bandara Internasional Juwata, Tarakan. Dijemput Yohanes, staf anggota DPD RI Kaltara, Fernando Sinaga.
Perjumpaan pertamaku dengannya, mengantar kami ke Pelabuhan Tengkayu. Untuk lanjut naik speedboat menuju Tanjung Selor, Ibukota Propinsi Kaltara. Mendarat paska berlayar satu setengah jam.
Sahabat Frans Tinambunan menjemput dan mengantar kami ke hotel terbaik di kota itu, Hotel Luminor, berbintang empat. Frans pamit, karena kami pun ingin istirahat paska perjalanan seharian itu. Lengkap, transportasi udara, darat, laut dan sungai.
Istriku mengurus proses check in, aku duduk di kursi lobby hotel. Kuambil segelas minuman selamat datang. Aku terkaget, sekonyong-konyong, ada yang mendatangiku.
“Pak Vickner ya?” tanyanya yakin.
“Ibu Vickner tadi bareng registrasi di front office hotel” lanjutnya.
“Ya” jawabku.
“Aku Suharyanto, anggota bapak dulu di Pulau Bunyu. Sedang dinas dari kantor wilayah di Balikpapan”, ujarnya.
Sebuah perjumpaan tanpa rancangan. Mirip perjumpaan pertama sebelas tahun lalu. Bedanya, dulu kurancang dengan baik dan berikut kisahnya.
Suharyanto, kala itu komandan PLN di Pulau Bunyu. Memproduksi listrik, distribusi dan tata niaganya. Stafnya ada belasan, di sentral pembangkit, belasan petugas distribusi dan belasan mengurus administrasi. Termasuk catat meter, billing dan penagihan. Biaya usaha ekstrim mahal. Pendapatan tak sampai separuh biaya usaha, rugi besar.
Tak sabar, aku datang ke Bunyu. Bunyu harus laba, pikirku. Berjumpa dan diskusi dengan Suharyanto cs.
“Setop menggunakan solar mahal itu,” perintah pertamaku.
Staf pun bingung, tak mungkin pembangkit diesel tanpa solar. Lebih konkret, semua mesin diesel di non aktifkan.
“Kita sewa mesin gas (Gas Engine), Pertamina sanggup memasok gas yang lebih murah,” tegasku.
Tak lama, paska empat bulan, listrik sudah dari mesin gas sewa, berikut operatornya. Energi primernya lebih murah, biaya produksi turun drastis, tak sampai separuh kala itu.
Paralel, semua KWH meter diganti dengan digital, Prabayar. Praktis tak perlu lagi pencatat meter, petugas billing dan penagihan. Termasuk regu pemutusan. Aliran listrik akan terputus sendiri jika tokennya habis. Biaya pegawai turun drastis, tinggal seperempat.
Tadinya lebih 30 pegawai, kini cukup 6 saja. Sebuah legacy terjadi di ujung negeri. Unit perusahasan, tadinya rugi, menjadi laba. Pasokan cukup, lalu semua pegawai menjajakan setrum itu. Alhasil, semua rumah dan bangunan di Pulau Bunyu berlistrik, daftar tunggu nihil.
Mission complete, ada koreksi total di sistem pembangkitan, juga transformasi sistem distribusi, plus bonus. Rasio listrik 100 persen. Kusebut Hattrick, pencapaian yang melampaui panggilan tugas.
Suharyanto sang komandan lapangan pun dapat ganjaran, Promosi jabatan. Mentornya? Desember 2012, kami diundang ke Semarang, menerima piagam Rekor Muri. Jaya Suprana menyerahkannya langsung, paska verifikasi oleh tim rekor MURI di Pulau Bunyu.
Selamat Hari Listrik Nasional ke -78, Accelerating Renewable Energy. We’re the New Energy. Terang Negeriku, Bangkit Indonesiaku. (adv)