Oleh Dedy Van Sophi, Creativ Director Fastcomm, Asli desa Serang Petarukan Pemalang
KALTARAONE.COM – Waktu kuliah di Bandung aku pernah terdesak oleh masalah perut lapar tapi kiriman belum datang. Kiriman dari orang tua seharusnya cukup. Tapi karena manajemen yang buruk akhirnya ludes sebelum waktunya.
Subuh itu aku sholat sangat khusuk, padahal biasanya kesiangan atau malah bolong. Saat itu aku berdoa dengan cara menagih. Aku fikir kalau Tuhan itu Maha Besar, mosok nggak sanggup membayar tagihan yang remeh ini. Gengsi dong. Dan yang aku sebut menagih adalah mengungkit-ungkit peristiwa belasan tahun silam.
“Tuhan, Engkau pasti ingat waktu ibuku masih ngajar SD, ibuku mendapati seorang muridnya sering pingsan karena perutnya kosong. Sejak itu ibuku menyuruh anak itu tiap pagi sarapan di rumahku sebelum ke sekolah. Kalau itu kebaikan, sekarang lah saat yang paling tepat buat Engkau untuk membalasnya. Kalau Kau ingin aku lebih beriman, sekarang lah kesempatan yang terbaik.”
Aku merasa Tuhan sudah terpojok dengan doaku itu, maka siangnya aku pun melangkah tenang ke warteg terdekat untuk menyambut balasan Tuhan. Aku pesan nasi porsi lebih disiram kuah gratisan dan lauknya kripik tempe. Semua berjalan sangat biasa. Tak ada tanda-tanda bakal terjadi sesuatu yang dramatis seperti di sinetron. Keringat dingin mulai menetes.
Kulihat wajah-wajah di dekatku. Semuanya sedang lahap. Tak ada wajah malaikat yang diutus Tuhan membayar tagihanku. Yang kutangkap adalah wajah seorang tentara yang matanya langsung galak begitu tak sengaja mataku menabrak matanya. Sepertinya pangkatnya rendahan makanya suka pamer kekuatan. Dia sampai mendekatkan duduknya ke arahku. Dia menanyaiku dengan suara yang dipaksakan berat dan menakutkan.
“Heh! Orang mana kamu?!”
Untuk menyebut kota asalku, Pemalang, pasti tidak tahu. Kota kecil yang sangat biasa dan tak punya apa-apa untuk dikenal. Maka kujawab saja, “Jawa Tengah.”
“Jawa Tengah? Kota mana?”
“Kabupaten Pemalang.”
“Kecamatan?”
“Kecamatan Petarukan.”
“Desanya mana?”
“Desa Serang.”
Dia menatapku seperti mencari-cari sesuatu. Lalu melihat ke piringku. Sehembusan nafas ia bangkit meninggalkanku. Hufff aku lega tak terjadi apa-apa. Aku tak berani melirik-lirik dia. Dalam hati aku ngedumel, “Tuhan, kalau tak mau ngutus malaikat, jangan ngutus setan lah. Biasa aja.”
Brakk!!! Asu, tentara itu lagi duduk di sebelahku. Tapi okelah, wajahnya mulai melunak.
“Hus. Kowe Serang-e ngendi? Anakke sapa?” tanya dia dengan suara yang kontras dengan sebelumnya. Kini dia ngomong Jawa ngapak semedok-medoknya.
Kawan, kalau kau sebatang kara di rantau, maka ketemu orang yang sebahasa denganmu itu rasanya kayak lebaran. Aku seperti pulang dan mendengar tetanggaku sedang berisik sambil cari kutu. Aku seperti terdampar ke suasana pagi di-soundtrack-i penyiar radio dangdut yang medok. Aku bahkan seperti mencium bau pesing tanah bekas anak-anak kampungku kencing.
Dan suara “Brakk” tadi adalah suara mangkuk berisi opor ayam yang diletakkan agak tergesa di atas meja. Dan mangkuk itu bergeser ke arahku begitu aku menyebut nama orang tuaku.
“Nih, dimakan. Gratis.”
Hahahahahaaaaa. Aku seperti mendengar malaikat ketawa-tawa. “Baru dikasih laper dikit aja udah berani nagih Tuhan, berani memojokkan Tuhan. Rasain lo!”
Tuhan, maaf….
Tentara itu lalu memperkenalkan siapa dirinya.
“Aku murid ibumu. Ibumu galak. Tapi kalau nggak galak, mungkin banyak yang gak lulus, termasuk aku. Yang khas dari ibumu, sebelum mulai pelajaran selalu bertanya ke murid-muridnya, siapa yang belum makan?”
Iya. Ternyata dia murid ibuku. Tapi bukan murid pingsan yang kuceritakan di atas.
“Warung ini adalah usahaku kecil-kecilan. Kalau kamu laper. Makan lah disini. Gratis. Tidak usah sungkan. Anggaplah aku kepanjangan tangan ibumu.”
Angin Bandung yang dingin seketika menghangat. Kurasakan kasih sayang ibu menembus melampaui ratusan kilometer, Pemalang-Bandung. Menyuapi anaknya yang sedang lapar.
Sejak itu kami langsung dekat. Seperti saudara yang lama baru saling menemukan. Dia, seterusnya menjadi pelindungku selama di Bandung.
Dan Tuhan? Ternyata gampang sekali terpojok oleh kebaikan yang dilakukan makhluknya. Tak tega tak menolong siapapun yang dalam dirinya bersemayam kebaikan.
Satu kebaikan dibalas seribu kebaikan. Seperti hari itu dan seterusnya, aku memanen kebaikan yang pernah ibu tanam belasan tahun silam, meski hanya sekedar memberi makan. (*)