Indonesia Berdarah, Peristiwa Pembajakan Garuda Indonesia 206

Pesawat McDonnel Douglas DC-9-32, Garuda Indonesia, tipe pesawat seperti yang mengalami pembajakan oleh kelompok Komando Jihad pada 28-31 Maret 1981. (Foto: Wikimedia Commons).

KALTARAONE.COM – Pesawat dengan nomor penerbangan GA-206 dibajak sekelompok ekstremis Komando Jihad saat tengah mengudara, 28-31 Maret 1981 (48 tahun silam). Alhasil, pesawat DC 9 (‘Woyla’) milik Garuda Indonesia, yang semula hendak menuju Medan, harus mendarat di Thailand.

Tragisnya lagi, pembajakan pesawat membuat sang kapten pilot kehilangan nyawanya. Dilansir dari Tempo.co, pesawat tersebut diterbangkan oleh Kapten Herman Rante beserta lima awak pesawat dan terdapat 48 penumpang, lima orang di antaranya adalah warga negara asing.

Ketika berada di Bandara Talang Betutu, Palembang, 5 orang teroris dipimpin oleh Imran bin Muhammad Zein mulai melakukan pembajakan pesawat. Mereka bisa memasuki pesawat dikarenakan bandara Talang Betutu tidak memiliki pengamanan yang ketat.

Penyanderaan Penumpang dan Awak Kabin

Pesawat DC 9 lepas landas dari bandara tersebut pukul 09.05 WIB. Awalnya penerbangan berjalan lancar sebagaimana mestinya. Namun, ketika pesawat terbang di atas langit Pekanbaru, lima orang berlarian menuju bagian depan kabin pesawat dan mengatakan, “Jangan bergerak!, jangan bergerak! Siapa yang bergerak akan saya tembak,” kata salah satu dari mereka.

Awalnya beberapa penumpang menganggap ini hanya drama, bahkan ada yang menganggap ini hanya candaan. Setelah pembajak mengacungkan pistol dan mengeluarkan granat, mereka akhirnya sadar bahwa pembajakan sedang berlangsung.

Menuju Bandara Polonia, Medan, pesawat dibelokkan menuju Penang, Malaysia, kemudian menuju Bangkok, Thailand. Pembajak memilih rute tersebut dikarenakan ingin membawa pesawat tersebut ke Timur Tengah melalui rute tersebut lalu lanjut ke Colombo, Srilanka hingga Libya.

Dalam insiden tersebut pembajak meminta kepada pemerintah untuk membebaskan 84 teman mereka yang terlibat dalam penyerangan Kosekta 8606, Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, 11 Maret 1981. Tidak hanya itu, pembajak juga meminta uang sejumlah 1,5 juta dollar AS, dan mengancam akan meledakkan pesawat apabila tuntutannya tidak dipenuhi.

Baku Tembak di Ruang Kokpit

Memasuki hari ketiga pembajakan, Selasa sekitar pukul 02.30 waktu setempat, Komando Pasukan Sandi Yudha (Koppasandha) pimpinan Letkol Infanteri Sintong Panjaitan, kini bernama Komando Pasukan Khusus, menjalankan operasi penyelamatan pesawat tersebut.

Letkol Infanteri Sintong Panjaitan, Komandan Pasukan Sandi Yudha (Koppasandha).

Saat itu pesawat telah mencapai landasan udara di Thailand. Pasukan bergerak mengendap dan teratur dalam formasi dua baris mendekati pesawat dan membawa tiga tangga. Dua tangga dilekatkan di masing-masing sayap, satu tangga di bagian belakang pesawat. Tak membutuhkan waktu lama, mereka bergerak masuk ke pesawat melalui pintu darurat dekat sayap dan bagian belakang di bawah badan pesawat.

Petaka bagi para pembajak terjadi di ruang kokpit pesawat Woyla, sekira pukul 02.45. Di tengah kegelapan malam, baku tembak pun berlangsung. Para prajurit dari Satuan Anti Teror Kopassandha memasuki Woyla dan menyergap para pembajak.

Nahas, dalam fase penyergapan itu, Kapten Pilot Herman Rante yang sedang duduk di jok kemudi ikut tewas. Sejumlah laporan menyebut Herman Rante ditembak seorang pembajak yang diduga bernama Abu Sofyan. Namun, pembajak ini, bersama 4 pelaku lainnya, berhasil ditembak mati oleh pasukan anti teror Kopassandha.

“Selesai menembak Captain Pilot, pembajak dipukul popor senapan oleh pasukan khusus dan jatuh di pintu depan. Begitu jatuh ke landasan, pembajak itu segera melarikan diri. Tetapi ketika dilihatnya di depan banyak pasukan menghadang, ia pun kembali disongsong peluru pasukan pembebas,” tulis Kompas.

Operasi militer di pesawat Woyla ini berakhir begitu semua pembajak berhasil dilumpuhkan dan para sandera dievakuasi. Herman Rante segera dilarikan ke Rumah Sakit Angkatan Udara King Bhumipol, Bangkok untuk mendapat penanganan medis. Setelah lima hari dalam perawatan intensif, kondisinya memburuk karena komplikasi paska operasi bedah.

Pada 5 April 1981, Minggu pagi pukul 08.00, Herman wafat dalam usia 38 tahun. Jenazahnya dimakamkan keesokan hari di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.(*)

Sumber: ERA.ID