KALTARAONE.COM – Tanggal berapakah malam 1 suro? Malam satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Islam atau kalender Hijriah. Satu Suro biasanya diperingati pada malam hari setelah Magrib. Sementara pada hari sebelum tanggal satu biasanya disebut malam satu suro.
Hal ini lantaran pergantian hari sesuai kepercayaan Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.
Sebenarnya, belum ada pengumuman mengenai tanggal pasti kapan 1 Muharram 1445 H dari Kementerian Agama (Kemenag). Namun, apabila merujuk pada SKB 3 Menteri, maka 1 Muharram 1445 H jatuh pada Rabu, 19 Juli 2023.
Jika demikian, maka malam satu Suro 2023 jatuh pada Selasa, 18 Juli 2023 malam. Lantas, seperti apa sejarah malam 1 Suro dan apa saja larangan malam 1 Suro?
Sejarah malam 1 Suro dan kalender Jawa
Dikutip dari laman Rumah Belajar Kemdikbud, penanggalan Jawa dihitung berdasarkan penggabungan kalender lunar (Islam), kalender matahari (masehi) dan Hindu. Kalender Jawa pertama kali diterbitkan oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo 1940 tahun yang lalu, mengacu penanggalan Hijriyah (Islam).
Sejarah malam satu Suro dimulai pada saat Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk ingin menyatukan Pulau Jawa.
Oleh karena itu, Sultan Agung ingin rakyatnya tidak terbelah, apalagi disebabkan keyakinan agama. Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan.
Pada setiap hari Jumat legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten. Sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri.
Akibatnya, 1 Muharram (1 Suro Jawa) yang dimulai pada hari Jumat legi ikut-ikut dikeramatkan pula, bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut diluar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.
Larangan malam satu Suro dan bulan Suro
Sedangkan untuk sebagian masyarakat larangan malam satu Suro yakni dilarang berpergian kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain. Bagi sebagian masyarakat Jawa, bulan Suro dianggap sebagai bulan keramat yang dipersepsikan sebagai galengane taun atau pematangnya tahun.
Sementara itu sebagian besar masyarakat Jawa masih meyakini ada beberapa larangan atau pantangan malam 1 Suro, seperti yang dirangkum dari laman Gramedia dan buku “Dialetika Islam dan Budaya Nusantara” (2020):
1. Larangan menikah di bulan Suro.
Masih ada orang yang mempercayai bahwa akan datang malapetaka jika mengadakan hajatan pada bulan Suro ini. Salah satunya adalah hajatan pernikahan. Untuk itu, mereka mempercayai jika mengadakan hajatan di bulan Suro maka mereka akan sial.
2. Dilarang berpergian.
Pantangan bulan Suro adalah dilarang bepergian jauh agar terhindar dari mara bahaya.
3. Larangan keluar rumah.
Larangan malam 1 Suro bagi beberapa orang meyakini bahwa tidak diperbolehkan untuk keluar rumah bagi orang yang memiliki kesialan weton tertentu.
4. Pindah rumah.
Larangan malam 1 Suro lainnya adalah pindah rumah dan dianggap akan mendatangkan kesialan bagi orang yang melakukannya.
Tradisi malam satu Suro
Beberapa daerah di Jawa masih memegang tradisi perayaan malam satu Suro. Di antaranya adalah Keraton Solo dan Keraton Yogya.
Di Solo, perayaan malam satu Suro terdapat hewan khas yang disebut kebo (kerbau) bule atau disebut Kebo Bule Kyai Slamet dan keturunannya. Leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat keraton yang sekarang.
Berbeda dengan perayaan di Solo, di Yogyakarta perayaan malam satu Suro biasanya selalu identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab.
Para abdi dalem keraton, beberapa hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng serta benda pusaka menjadi sajian khas dalam iring-iringan kirab yang biasa dilakukan dalam tradisi Malam Satu Suro.
Perayaan tradisi peringatan malam satu Suro menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan. Sehingga, pada malam satu Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir merayakannya.
Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya. Selain itu, masyarakat Jawa pada umumnya selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan melakukan hal kebaikan sepanjang bulan satu Suro.
Tradisi saat malam satu suro bermacam-macam tergantung dari daerah mana memandang hal ini, sebagai contoh Tapa Bisu, atau mengunci mulut yaitu tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini.
Hal ini dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya. (*)